Memeluk Cinta Part 4
Dan ternyata, hatiku salah. Bukan kamu. Kamu sama sekali tidak mengejarku. Aku kecewa. Wajahku kembali tertunduk. Berusaha menyeka air mata secepat mungkin, dan mengucek-ngucek mata yang sembab. Beberapa detik kemudian kembali mengenakan senyum palsu.
" Sorry." hanya itu yang keluar dari bibirku.
Laki-laki itu tersenyum. Menyodorkan selembar tissue.
" Tangisanmu, mengganggu sekali, semua orang di jalanan memerhatikanmu, itu memalukan.." Pria itu berkomentar pedas, dengan senyum balasan yang tampak di paksakan.
" Sebagai atasanmu, tentu aku bertanggung jawab untuk menghentikan tangisanmu yang menyebalkan itu, sebelum salah satu klien kita menyadari nanti.." kata-katanya semakin pedas.
Aku menggenggam jemari ku kuat-kuat. Dalam hati aku terus merutuki bos muda yang tak punya hati ini. Apakah ia tak pernah mengalami yang namanya sakit karena patah hati.
"setengah jam yang lalu seharusnya kamu sudah ada di aula untuk mempersiapkan segala hal untuk workshop kita nanti. Tak ada satupun yang mengetahui keberadaanmu. Dan aku tak sengaja menemukanmu disini. Ah. wajahmu kacau sekali... " Bos muda itu terus menceracau sambil menarik tanganku menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari situ.
Tak lama kemudian ia mengambil sesuatu dari dalam mobil. Tissue basah
"Bersihkan wajahmu dengan ini. Lihatlah matamu. Semerti mata ikan lele.."
Seandainya bisa aku ingin menimpuk wajah bos arogan itu dengan batu. Sungguh menyebalkan.
Ya. Jujur, ia cukup tampan meski kau jauh lebih tampan pastinya. Tapi tak ada yang bisa menyangkal aura kewibawaanya yang mempesona. Usia nya tak jauh di atasku. Cuma berbeda Dua tahun. Penampilannya sederhana tapi berkelas. Hari ini dia tampak elegan dengan jas itu.
Ya. Jujur, ia cukup tampan meski kau jauh lebih tampan pastinya. Tapi tak ada yang bisa menyangkal aura kewibawaanya yang mempesona. Usia nya tak jauh di atasku. Cuma berbeda Dua tahun. Penampilannya sederhana tapi berkelas. Hari ini dia tampak elegan dengan jas itu.
"Ayo. cepat naik, kita sudah terlambat.. " Bos arogan itu mengecek jam tangannya " terlambat 10 menit.." sambungnya lagi.
Aku pun buru-buru naik. Terpaksa dengan hati nelangsa.
***
Workshop selesai hampir pukul delapan malam. Aku bergegas meninggalkan tempat itu. Aku ingin merebahkan tubuhku sesegera mungkin dan melanjutkan tangis yang sempat terhenti gara-gara bos muda arogan itu.
"Nindi..!!" Sial bos muda tadi memanggilku
. Selama dua tahun lebih aku bekerja di perusahaannya dan dia memang selalu sangat menyebalkan. Suka menyuruh macam-macam, besar kepala, ketus, sok perfectionis, sulit untuk menerima pendapat orang lain, sulit berkerja sama. Pernah aku lembur dua hari dua malam hanya untuk mencari data aktual tentang kasus yang sedang kami tanggani.
Padahal menurutku data yang ku dapatkan sudah lebih dari cukup. Tapi bos arogan itu selalu ingin lebih dan lebih. Ya, aku adalah seorang pengacara. Aku meniti karir awalku di kantor miliknya. Milik ayahnya lebih tepat. Pengacara kondang di negeri ini. Sehingga, ya. lebih mudah bagi seorang Kharis (si bos arogan) dalam meniti karir dengan profesinya.
Aku berbalik dengan wajah ku buat sekusut mungkin.
"Demi Tuhan." pekikku dalam hati. " Kenapa ia tak mengizinkan ku beristirahat hari ini padahal ia sendiri sepertinya mengerti kondisi ku seperti apa.
"ada hal lain, Kharis? Ya. Aku terbiasa memanggilmu dengan nama. Secara kita dulu pernah duduk di sekolah dasar yang sama hingga SMP sebelum akhirnya si bos arogan itu pindah ke Amerika dan menyelesaikan studi nya di Universitas terkemuka disana Harvard.
"Temani aku makan malam." penawarannya terdengar seperti perintah di telingaku.
"kau gila, aku sangat lelah." Emosi membuatku tak memandangnya sebagai atasanku lagi. Lagi pula aku memang sering ketus pada bos muda yang satu ini.
"kalau bukan kau sahabat kecilku, sudah ku pecat kau sejak dulu.." Kharis terdengar geram dengan tingkahku.
" Kalau aku tahu kau yang menjadi pimpinan di perusahaan, aku pun tak mau sejak awal melamar kerja disana.. kau tahu? emosiku semakin tersulut.
"Aku lelah Ris. Aku butuh istirhat. Kau tak pernah berubah. Huh.. kau seperti Es!
"Tutup mulutmu eskimo!" jawab Kharis lagi sambil menyeret ku ke mobilnya.
(Bersambung ke Part 5)
Part 5
Workshop selesai hampir pukul delapan malam. Aku bergegas meninggalkan tempat itu. Aku ingin merebahkan tubuhku sesegera mungkin dan melanjutkan tangis yang sempat terhenti gara-gara bos muda arogan itu.
"Nindi..!!" Sial bos muda tadi memanggilku
. Selama dua tahun lebih aku bekerja di perusahaannya dan dia memang selalu sangat menyebalkan. Suka menyuruh macam-macam, besar kepala, ketus, sok perfectionis, sulit untuk menerima pendapat orang lain, sulit berkerja sama. Pernah aku lembur dua hari dua malam hanya untuk mencari data aktual tentang kasus yang sedang kami tanggani.
Padahal menurutku data yang ku dapatkan sudah lebih dari cukup. Tapi bos arogan itu selalu ingin lebih dan lebih. Ya, aku adalah seorang pengacara. Aku meniti karir awalku di kantor miliknya. Milik ayahnya lebih tepat. Pengacara kondang di negeri ini. Sehingga, ya. lebih mudah bagi seorang Kharis (si bos arogan) dalam meniti karir dengan profesinya.
Aku berbalik dengan wajah ku buat sekusut mungkin.
"Demi Tuhan." pekikku dalam hati. " Kenapa ia tak mengizinkan ku beristirahat hari ini padahal ia sendiri sepertinya mengerti kondisi ku seperti apa.
"ada hal lain, Kharis? Ya. Aku terbiasa memanggilmu dengan nama. Secara kita dulu pernah duduk di sekolah dasar yang sama hingga SMP sebelum akhirnya si bos arogan itu pindah ke Amerika dan menyelesaikan studi nya di Universitas terkemuka disana Harvard.
"Temani aku makan malam." penawarannya terdengar seperti perintah di telingaku.
"kau gila, aku sangat lelah." Emosi membuatku tak memandangnya sebagai atasanku lagi. Lagi pula aku memang sering ketus pada bos muda yang satu ini.
"kalau bukan kau sahabat kecilku, sudah ku pecat kau sejak dulu.." Kharis terdengar geram dengan tingkahku.
" Kalau aku tahu kau yang menjadi pimpinan di perusahaan, aku pun tak mau sejak awal melamar kerja disana.. kau tahu? emosiku semakin tersulut.
"Aku lelah Ris. Aku butuh istirhat. Kau tak pernah berubah. Huh.. kau seperti Es!
"Tutup mulutmu eskimo!" jawab Kharis lagi sambil menyeret ku ke mobilnya.
(Bersambung ke Part 5)
Part 5
Komentar
Posting Komentar