Langsung ke konten utama

Hidup Itu Indah Jika Kita Bersyukur [cerpen]

*tulisan lama , tahun 2011 an mungkin

Umurku enam belas tahun, dan aku merasakan jika hidup ini tidak menyenangkan berbeda seperti yang sudah ku jalani selama bertahun-tahun sebelumnya. Tepatnya, pada saat usiaku di bawah sepuluh tahunan. Usia dimana aku belum terlalu mengerti tentang kecantikan, dan kegunaannya bagiku.Semuanya begitu sederhana saat itu, dengan wajah polos, rambut urak-urakan, dan kulit gelap terbakar sinar matahari. Saat itu aku sama sekali tak mempermasalahkan fisikku. Tak peduli apapun meski banyak orang yang mengomentari bahwa aku begitu berbeda dengan saudari-saudariku yang lain. Begitu gelap jika di sanding dengan kakakku yang berkulit putih bersih. Sama sekali tak ada perasaan sedih, ataupun marah akan komentar-komentar bodoh mereka. Mungkin aku masih terlalu kecil untuk memahami makna dari semua itu.
Masa menyenangkan itu pun berlalu, berganti dengan masa remaja yang menjemukan, aku benci masa-masa ini, masa di mana aku merasakan ada yang tidak normal dengan tubuhku, penampilanku, wajahku. Aku merasa kampungan, aku si buruk rupa. Aku mulai menyadarinya menjelang usiaku masuk 12 tahun. Dan hal itu membuat ku tertekan, dan menjadi paranoid. Aku cenderung menjadi pembangkang dan pemarah. Kesadaran akan penampilan fisikku yang tak sempurna membuatku menjadi anak yang tak percaya diri. Selalu mengucilkan diri, malas berhubungan dengan orang-orang, Semua itu terjadi karena aku takut di komentari, dan aku benci komentar. Aku selalu gugup, seakan semua orang mengawasiku dari rambut hingga ujung kaki, seakan ada sesuatu yang gelap dan mengancam berupa hinaan dan celaan dari mulut mereka untukku.
Orang-orang membuatku gugup. Aku memilih tinggal di kamar tidur dengan pintu tertutup rapat, menguncinya, lalu meringkuk di sudut tempat tidur dengan sebuah buku. Aku sangat suka membaca, bagiku buku itu adalah sahabatku, Buku seakan sahabat setia yang menemaniku dan menghiburku di kala sepi. Jujur, aku bukan orang yang bodoh, berkat “sahabatku” aku bisa memiliki suatu hal yang bisa kuandalkan, di sekolah aku di hormati karena nilai-nilaiku selalu bagus. Minimal guru-guru menyayangiku. Tapi tetap saja, meski aku sudah mengandalkan otakku, aku tetap tak punya teman. Aku terlalu gugup untuk berteman. Aku takut dimanfaatkan. Karena itu aku memilih untuk sendiri.
Dunia di luar kamarku sepertinya adalah tempat yang menggoda, menakjubkan, tapi sangat berbahaya bagiku. Rasa bahaya itu mungkin sebahagian berasal dari sikapku yang terlalu ingin melindungi diriku sendiri dari orang-orang, memang nyaris paranoid. Rasa tak cukup mampu menghadapi dunia yang mengancam mungkin sebahagian berasal dari tingkah tololku aku selalu menutup diri dari orang-orang. Karena mereka hanya membuatku gugup. Aku takut mereka mengejekku, aku merasa tak pantas bersanding dengan orang-orang, karena aku ini jelek, aku begitu buruk untuk di jadikan teman. Dan aku berkeyakinan  tak ada seorang pun yang ingin berteman denganku. Aku tak mampu berhadapan dengan wajah-wajah asing, tubuhku pun mempunyai respon yang saangat tajam dalam menanggapi “mereka”. Aku selalu berkeringat dingin, dan tubuhku gemetar jika aku bertemu setiap orang.
Aku merasa sangat kesepian, bagiku sebuah hari baru berakhir hanya saat aku merebahkan badanku untuk tidur. Tidur adalah satu-satunya kenikmatan dalam hidupku. Tidur adalah satu-satunya kesempatan bagiku untuk melarikan diri dari hidup keseharianku. Aku senang bermimpi.
Aku hidup dalam sebuah keluarga yang kecil dan sempurna, 2 orang saudara perempuan yang elok, aku yang  buruk rupa, ayah serta ibu yang sangat menyayangiku. Aku sangat menyayangi ayah dan ibu, karena hanya mereka yang selalu memujiku, menyanjungku dengan berkata betapa manisnya aku. Meski aku tahu mereka berkata begitu karena aku ini darah daging mereka. Mereka cuma ingin menghiburku, dan aku hargai itu. Tapi lama kelamaan pujian-pujian bodoh itu hanya membuat hatiku tambah terluka.
Pernah aku bertanya pada ibu, mengapa aku ditakdirkan untuk lahir dalam rupa seperti ini, berkulit gelap, tubuh pendek, hidung yang pesek, tak ada istimewanya. Mendengar pertanyaanku ibu hanya dapat terdiam dan memandangku dengan pandangan kecewa. Aku sempat melihatnya sedikit tercekat, perlahan ia menarik napasnya dan berkata,
“ Kok Della bertanya seperti itu, bukankah Della punya kelebihan, Allah memberi Della kepintaran., kenapa della tidak bersyukur?.”
Mendengar jawaban ibu emosi ku terbakar.
Tapi itu tak adil,..kenapa kelebihan yang ku punya meniadakan kelebihan yang lain, kenapa Allah hanya memberiku satu kelebihan?, itu tak adil Bu, temanku si Raina, dia cantik, pintar, kaya, sedang aku,.. aku hanya punya satu kelebihan..dan aku sama sekali tak bisa mengandalkan wajahku yang jelek ini….” Kataku dengan suara tercekat.
Ibu memandangku dengan tertegun, seakan ia terkejut mendengar pernyataanku.
“ Siapa bilang anak ibu jelek, kamu manis kok, Della….” Ujar ibu sambil tersenyum.
Jawaban ibu sama sekali tak membuatku senang, sebaliknya aku muak. Bosan aku mendengar pernyataan yang sama setiap hari. Aku ingin ibu berinisiatif lain, aku berharap ibu mau membawaku ke salon, dokter kecantikan, atau kemana saja untuk merubah penampilan fisikku yang menurutku menyedihkan ini. Tapi dia sama sekali tak melakukannya, dia hanya memuji, dan aku tahu pujian tak bisa merubahku menjadi cantik. Aku pernah memaksa ibu membawaku ke dokter kecantikan, tapi ibu membalasku dengan pelototan, katanya ia tak punya uang. Hutangnya numpuk. Ibu adalah penjual kue keliling, pekerjaannya itu ditekuni sejak umurku 6 tahun. Katanya buat nambah-nambah penghasilan keluarga.
“,.. ini semua untuk uang sekolah kalian..kalau hanya bergantung sama gaji ayahmu, mana cukup,..” jawab ibu, saat dulu aku bertanya untuk apa capek-capek bekerja. Toh, ayah kan seorang pegawai negeri.
Beginilah keadaanku, keadaan yang membuatku membenci hidup. Keadaan yang membuatku bertanya-tanya, apakah aku memang dilahirkan untuk menderita. Aku ingin bersyukur, tapi aku bingung, bersyukur untuk apa, aku sama sekali tak punya suatu pun yang bisa di banggakan. Pikiranku cukup gelap untuk di cerahkan, hatiku telah tertutup dengan keputus asaan. Aku seakan terperangkap dalam lorong gelap kecil, kesepian, dingin, dan tak punya semangat hidup.
Pernah terbersit dalam pikiranku untuk mengakhiri hidup, tapi aku masih terlalu waras untuk mempertimbangkannya. Aku sadar aku seorang muslim, dan hal bodoh macam itu tak pantas ku lakukan. Tapi desakan keputusasaan terus memberikan tekanan batin. Aku sakit, hatiku yang sakit. Hidup begitu kejam untuk ku jalani, dan aku ingin tidur, tidur pulas dalam jangka waktu yang lama, dan setelah terbangun aku mendapatkan diriku terlahir menjadi orang lain yang sempurna. Harapan kosong seperti itu selalu menjadi lamunan dalam hari-hariku yang panjang.
§§§§§§§
Hari ini sekolah libur, Seperti biasa aku menghabiskan waktuku di kamar, kalau tidak tidur, pasti aku akan meringkuk ke atas tempat tidur sambil membaca buku. Jika aku sudah tak punya buku baru untuk di baca, kadang aku suka mengulang-ngulang membaca buku yang sama, tapi karena sudah terlalu sering aku menjadi malas. Ku putuskan untuk membeli majalah di kios sebelah rumah. Dengan malas aku beringsut dari tempat tidur, kutarik jaket hijau tuaku dari tumpukan baju yang belum disetrika. Serta tak lupa aku menyambar payung motif bunga yang tergeletak di sudut kamar. Ada perasaan malas untuk pergi. Aku terlalu gugup untuk bertemu orang-orang, tapi hasratku untuk membaca jauh lebih besar. Jadi kuputuskan untuk tetap pergi.
Untung, suasana kios majalah saat itu masih terlihat sepi. Mungkin karena Hujan sangat deras, makanya orang-orang malas untuk keluar rumah. Mataku jelalatan melirik semua majalah serta Koran yang terpampang. Tiba-tiba pandanganku tertuju pada salah satu majalah nasional terkenal. Tanpa menunggu waktu lagi, langsung kutarik majalah itu. Kusodorkan sejumlah uang kepada seorang bapak bertubuh tambun. Lalu aku pun berlalu pergi.
“…..BRUKKKK……….!!!!!”
Tubuhku terhempas 1 meter ke belakang dari posisiku semula. Tubuhku sakit bukan main. Sepertinya aku menubruk seseorang. Emosiku meledak-ledak, perlahan aku memungut majalah dan payungku, dan berusaha untuk berdiri, sambil mengambil ancang-ancang untuk memaki orang yang telah menubrukku dengan suara sekeras mungkin. Namun aku mengurungkan niatku.
Hatiku melunak saat melihat penampilan gadis yang menubrukku tadi. Tubuhnya basah kuyup, bajunya terlihat kusam dan penuh dengan tambalan-tambalan kecil, sebahagian kepalanya tertutupi kantong plastik hitam, kerudungnya sudah tak layak pakai,. Tubuhnya kurus, bibirnya pucat dan perawakannya kecil. Wajahnya sangat cantik, walaupun tak terawat. Gadis itu seakan memiliki daya tarik yang luar biasa.
Mulutnya tak berhenti mengucapkan kata maaf. Secepat kilat aku menuntunnya untuk berdiri.
“ Seharusnya aku yang minta maaf,..” aku berkata dengan nada suara setulus mungkin. Dan aku bisa merasakan tubuhku gemetar.
“ terima kasih..” ucapnya ramah, sesaat aku melihat senyuman manis tersungging dari bibirnya yang pucat. Senyuman yang sangat menyejukkan hati.
“ Mari, biar kuantarkan pulang.kasihan kamu kehujanan, lagi pula kamu terlihat sangat pucat,..” pintaku saat melihat kondisinya.
Mendengar permintaanku gadis itu tersenyum lagi, kemudian berkata.
“ Saya, baru saja dari rumah, saya sedang dalam perjalanan menuju masjid..”
Aku tertegun. “ sendirian.. kalau terjadi apa-apa bagaimana..?”
Sekali lagi dia tersenyum, “Allah pasti akan  menuntunku,, dan aku merasa terlindungi…”
Aku tersedak, seperti ada pukulan keras yang menghujam ke ulu hatiku.
Boleh aku antar..?”
Gadis itu membalas dengan anggukan.
  • §§§§§§§§
Namanya Rahma, dalam perjalanan menuju mesjid aku banyak bercakap-cakap dengannya. Dari cara bicaranya, dan tutur katanya yang sopan, sangat menandakan jika dia seorang gadis yang shalihah. Sayang, aku tak sempat menanyakan alamatnya tadi. Setelah mengantarkannya ke masjid, aku langsung pamit pulang. Karena pada hari itu aku sedang “berhalangan”.
Seminggu telah berlalu, entah kenapa tiba-tiba aku teringat Rahma. Hanya dia yang bisa membuat aku tertawa lepas, dan bercakap-cakap tanpa rasa takut. Mula-mula aku memang bertingkah seperti biasa, canggung, gemetaran, dan berkeringat dingin. Tapi, sikap Rahma yang tenang dan menyejukkan, membuat rasa percaya diriku muncul. Dan aku merasa aman mengobrol dengannya. Tak ada ejekan, tak ada komentar. Penampilan Rahma memang sangat sederhana, justru karena hal itulah, aku merasa nyaman berada di dekatnya. Orang kaya itu sombong, begitulah dogma ku. Tiba-tiba terbersit di pikiranku untuk mencari Rahma di masjid yang biasanya dia kunjungi. karena sewaktu aku mengantar Rahma ke masjid setelah peristiwa tubrukan dua pekan silam, Rahma pernah berkata , jika dia sering mengunjungi masjid itu. Baginya  masjid bisa menciptakan suasana damai di hatinya. Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung bersiap-siap.
  • §§§§§§§§
Suasana masjid saat itu sangat sepi, mungkin orang-orang lebih memilih tidur siang, ketimbang ke masjid. Perlahan aku melangkah memasuki masjid. Kupandangi setiap sudut masjid yang lumayan besar itu. Tak kutemukan sosok Rahma disana. Ku coba untuk melirik setiap sudut ruangan masjid lebih dalam lagi. Tiba-tiba aku melihat seorang gadis yang sepertinya tak asing bagiku, duduk di dekat tingkap masjid. Tangannya memegang al-quran. Dari wajahnya tersirat rasa putus asa. Aku menuju kearahnya sambil berlari kecil.
“ assalamu’alaikum..Rahma”
“ Wa’alaikumusalam..” Rahma mengerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri seakan mencari arah sumber suara. Wajahnya menunjukkan kebingungan.
“ ini aku… Della..”
“oh.. ya Allah, della ya, maaf tadi aku sedang berusaha mengenali suaramu..”jawabnya dengan nada menyesal.
Della, apakah Della mau menolong Rahma…”
“ dengan senang hati…” jawabku mantap. Baru kali ini aku merasa dibutuhkan, dan aku bahagia.
“ Tolong,.. tolong bacakan Al-Qur’an ini.. sudah dua hari aku tak mendengar bacaan Al-Quran, Ustadzah Shalihah berhalangan 2 hari ini, jadi tak ada yang membacakan Al-Quran untukku…”Ucap Rahma dengan raut wajah sedih.
emmmm…  jujur, suara Della tidak terlalu indah.., tapi tajwid Della lumayanlah… mungkin akan lebih bagus, kalau Rahma yang membacakannya…”
Mendengar komentarku Rahma menunduk sedih
aku…aku.. tak bisa baca Al-Quran lagi…”
Aku bingung mendengar  jawaban Rahma, apa maksudnya dengan “tak bisa baca Al-Quran lagi..”. Tapi, cepat-cepat kuhilangkan tanda Tanya di hatiku. Mungkin saja dia sedang “halangan”, jawabku dalam hati.
  • §§§§§§§
Sejak peristiwa tubrukan itu aku dan Rahma sering bertemu, dia adalah temanku satu-satunya,dia 2  tahun lebih tua daripada aku. Kami selalu bertemu di masjid. Biasaya kami sering menghabiskan waktu untuk mengaji, Rahma juga pernah memberikan ceramah singkat tentang agama.
Kemarin aku bertengkar dengan Rahma, Saat itu hujan turun sangat deras..Hal itu bermula saat aku menceritakan semua persoalanku padanya. Dan hal yang kutakutkan terjadi, Rahma mulai berkomentar.
Kadang kita dilimpahi banyak nikmat, tapi pikiran kita terlalu sempit untuk melihat nikmat itu..Hidup itu akan terasa indah jika kita mensyukurinya..hidup itu indah Del, kecuali bagi orang yang tidak menghargainya, keindahan hidup hanya bisa dicicipi dengan rasa syukur… satu hal lagi Del, Allah tak melihat hambaNya dari fisik, tapi dari imannya”
Mendengar komentarnya aku pun marah, aku merasa tak memiliki satu kelebihan pun yang  patut aku syukuri.
“ Kamu sih enak ngomong begitu, Ma, karena wajahmu itu cantik, makanya kamu bisa mensyukurinya, sedang aku, aku tak punya apa-apa untuk di banggakan..” setelah mengata-ngatai Rahma, aku langsung berlari meninggalkannya sambil menangis.
  • §§§§§§§
Siang itu aku ke masjid, menanti kedatangan Rahma dari pagi hingga sore, tapi sama sekali tidak ada tanda-tanda kedatangannya. Padahal hari itu aku ingin minta maaf padanya. Aku sadar maksud Rahma baik. Dan aku sudah keterlaluan. Karena Rahma tak kunjung datang, aku pun memutuskan untuk pulang. Besoknya aku kembali lagi, seperti hari sebelumnya aku menanti Rahma dari pagi hingga sore, tapi hasilnya sama saja dengan hari kemarin, nihil. Dalam hati, aku menaruh penyesalan, kenapa dari dulu aku selalu lupa untuk menanyakan alamatnya. Kalau sudah begini kemana aku harus mencari Rahma. Besoknya aku kembali lagi, kali ini ku beranikan diri untuk menemui Ustadzah Shalihah.mungkin saja beliau tahu dimana Rahma tinggal. Rahma pernah bercerita kalau Ustadzah Shalihah sering mengunjungi masjid untuk mengajari anak-anak kampoeng mengaji. Ku ayunkan kaki kananku untuk memasuki masjid, dari jarak 3 meter aku melihat seorang wanita berkulit hitam manis tersenyum ke arahku. Wanita itu menggunakan jilbab hitam yang menutupi hampir seluruh tubuhnya. Aku membalas senyumnya dan bertanya.
“ ustadzah Shalihah?”
Wanita itu membalas pertanyaanku dengan senyuman dan anggukan.
§§§§§§§
Aku terus berlari, mengayunkan kakiku secepat mungkin menuju ke Panti Asuhan Harapan Kasih yang jaraknya lumayan jauh dari masjid. Aku begitu kaget saat mengetahui kalau Rahma rupanya tinggal di Panti Asuhan. Jantungku berdetak kencang. Aku tak peduli dengan peluh yang mengalir dari tubuhku, serta rasa nyeri yang menghujam otot-otot kakiku.
Aku hanya ingin bertemu Rahma, aku ingin minta maaf.
Panti asuhan itu terlihat bersih dan terawat, meski cat putih kusamnya sudah mengelupas di sana-sini.
“ cari siapa, Nak? Sapa seorang ibu yang umurnya kira-kira 40 tahunan. Ibu itu mengenakan daster coklat tua.
“ Maaf Bu, saya sedang mencari teman saya, namanya Rahma,,,” aku pun mulai menjelaskan cirri-ciri Rahma.
Ibu itu mengangguk seolah mengerti,” Tapi, Nak.. disini ada 2 orang yang namanya Rahma.. berdasarkan cirri-ciri sepertinya Rahma yang adik maksudkan, mungkin yang tunanetra?
“TUNANETRA “ Tanyaku tak percaya.
  • §§§§§§§
Aku tak mampu berdiri, wajahku dipenuhi dengan air mata. Ku pandangi tubuh Rahma yang rapuh sedang berbaring di atas dipan kecil berkain tua. Wajahnya terlihat sangat pucat, ia sedang tertidur. Ibu pengurus Panti bilang, Rahma jatuh sakit 3 hari yang lalu, karena pulang dengan basah kuyup. Aku kembali teringat hari itu, hari dimana aku meninggalkan Rahma sendirian di Masjid, di tengah hujan yang sangat deras. Gara-gara aku Rahma jatuh sakit.
Menurut cerita ibu panti, Rahma di bawa ke panti asuhan 2 tahun yang lalu. Saat umurnya 16 tahun, orangtuanya meninggal dalam kecelakaan mobil. Rahma yang juga ada di dalam mobil itu selamat, namun ia mengalami kebutaan, sel syaraf matanya rusak, akibat terbentur terlalu keras. Keluarga dekat Rahma baik di pihak ibu dan ayahnya membuangnya ke Panti asuhan, tak ada yang mau mengasuhnya. Sementara harta warisan yang seharusnya jadi miliknya di ambil alih. Rahma tak bisa berbuat apa-apa, ia terlalu lemah untuk itu. Tapi, kata ibu Panti Rahma masih bersyukur dan sangat berterima kasih kepada kerabatnya yang lain, karena sudah menitipkannya ke Panti asuhan.
Kalau Rahma, tidak dititip disini, pasti sekarang rahma luntang-luntung di jalan..”
Aku sama sekali tak menyadari kecacatan Rahma, Rahma tak seperti gadis buta pada umumnya. Dia berjalan dengan tegar, seolah dia yakin ada seorang yang menuntunya. Pantas waktu itu Rahma tak mengenaliku waktu aku menyapanya di Masjid, dan dia berkata sedang berusaha mengenali suaraku. Pantas waktu itu Rahma menyuruhku membacakan al-Quran untuknya. Ia tak pernah menganggap buta itu sebuah kecacatan, Rahma yang malang mensyukurinya sebagi nikmat Tuhan. Hatinya sungguh mulia.
Rahma, gadis tegar, yang hidup dengan kesabaran. Sekalipun ia tak pernah mengeluh Meski cobaan yang menimpanya datang bertubi-tubi. Gadis yang selalu tersenyum dan menyejukkan hati. Tiba-tiba aku teringat perkataan Rahma di hari pertengkaran kami.
“Kadang kita dilimpahi banyak nikmat, tapi pikiran kita terlalu sempit untuk melihat nikmat itu..Hidup itu akan terasa indah jika kita mensyukurinya..hidup itu indah Del, kecuali bagi orang yang tidak menghargainya, keindahan hidup hanya bisa dicicipi dengan rasa syukur, Allah tak melihat hambaNya dari fisik, tapi dari imannya”
Aku kembali menagis terisak-isak. Aku malu pada diriku sendiri, pada Rahma, pada Rabbku. Pikiranku begitu picik. Aku tak sadar jika selama ini aku telah dianugerahi banyak kenikmatan, aku dianugrahi mata sehingga aku bisa melihat, sedangkan Rahma dia hidup dalam kegelapan, tapi dia tetap mensyukurinya. Aku memiliki orangtua yang walaupun tak kaya, tapi mereka menyayangiku, dan mampu membimbingku. Sedangkan Rahma telah ditinggal ke dua orang tuanya, dan ia rela akan itu. Aku punya rumah untuk tinggal, sedangkan Rahma tetap puas meski hanya bisa hidup di sepetak kamar kecil yang berdebu. Tapi ia sama sekali tak mengeluh. Sedangkan aku, aku tak pernah bersyukur, meski kenikmatan itu berdiri di hadapanku. Aku menangis semakin keras. Tubuhku terguncang. Aku menyesali diriku, menyesali sikapku. Aku muak akan tingkahku yang menganngap kesempurnaan fisik itu adalah segala-galanya. Padahal ada yang jauh lebih penting dari itu. Aku menyesal terlambat memaknai semua itu.
Aku merasakan seseorang mengenggam jemariku. Telapak tangannya terasa hangat.
“ Della…kamu menangis”
Aku membalas sapaannya dengan isakan.
Aku melihat Rahma tersenyum, perlahan ia menyandarkan tubuhnya ke papan penyangga dipan.
“ Maaf…maafkan aku..”Ucapku terbata-bata
Rahma mengerutkan keningnya, pertanda dia bingung.
“ maaf untuk apa..?”
Ku seka air mataku. “ hidup itu ternyata indah ya..”
Kami pun tertawa bersama-sama.
Aku menghapus air mataku. Ku pandangi langit biru di angkasa melalui jendela. Dalam hati aku berterima kasih pada Tuhan karena ia masih menyayangi diriku yang selama tak pernah sadar akan nikmatNYA.

“Terimakasih, atas kiriman malaikat tak bersayap, yang membuka mataku untuk menyambut secercah cahaya hidayahMU”. Ucapku dalam hati.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman Mengirim Barang Dengan Menggunakan jasa Dakota Cargo

Apa Sih Clinical Skill (KKJ) Itu?

PENGURUSAN SERKOM DAN STR UNTUK DOKTER UMUM