hidup adalah pilihan




Dulu, sejak kecil saya sering sekali menonton televisi pada jarak dekat serta membaca buku dalam kondisi cahaya yang tidak memenuhi syarat. Misal, saat  sedang asyik melahap novel atau komik favorit dan tiba-tiba saja listrik mati padahal alur cerita tengah seru-serunya, bermodalkan sebuah lilin dengan pendar cahaya tak seberapa, saya pun melanjutkan membaca (saya sudah mulai membaca novel sejak kelas empat SD loh, salah satunya adalah novel Lima Sekawan).
walhasil akibat kebiasaan buruk saya tersebut, saya pun resmi menderita rabun jauh pada usia dua belas tahun. Berkacamata itu sama sekali tidak asyik menurut saya. Terkadang sesal muncul di dada, Terlambat? Sudah pasti ! , mata saya yang mengalami miopia mana bisa normal lagi, yang ada malah semakin bertambah minusnya saban tahun. Otomatis ayah saya harus merogoh kocek gonta ganti gagang atau lensa setiap satu tahun sekali. Selain merugikan diri sendiri, ternyata saya telah berhasil merugikan orangtua juga ujung-ujungnya.

Memakai kacamata bak kiamat bagi saya, apalagi jaman saya SMP dulu sedang maraknya film Betty La fea, gadis buruk rupa yang berkacamata dan berkawat gigi. Malangnya kacamata yang dipakai Betti tidak jauh beda dengan kacamata yang saya kenakan pertama kali. apalagi wajah saya juga tergolong buruk rupa juga tidak jauh beda dengan Betti. Ah, gagang kacamata itu sumbangan dari kakak sepupu saya, untuk menghemat pengeluaran, Mak cuma mengganti lensanya dengan lensa -1,75. Resmilah kacamata itu saya kenakan sepanjang waktu, dan julukan Betty Betty lapeaaa.. mulai mengusik kuping saya saban hari. Abang, adik, kakak, tetangga dan anak-anak kampung sekitar lingkungan saya tinggal mulai menyematkan julukan itu untuk saya. Aduh, rasanya pengen mati!

Hari-hari saya lewati dengan penuh depresi, untuk menghibur saya Mak pun membawa saya ke pengobatan tradisional, kelopak mata saya di urut-urut dengan batu yang katanya sakti. Dua tahun saya menjalani terapi itu tidak ada hasil signifikan. Mata saya tetap saja kabur dan hanya kacamata saja yang bisa membantu saya melihat lebih jelas. Saya pun, akhirnya menyerah. Mulai menerima kondisi saya dan apa yang menimpa saya, toh apa yang terjadi terhadap saya adalah pilihan saya sendiri. 

Dulu, pas SMP, saya pernah kesel setengah mati sama temen sebangku saya. Atas dasar alasan apa, saya pun kurang ingat dengan jelas. Akhirnya dia pun saya cuekin, saya jutekin dan muka saya selalu kecut saat betegur sapa dengannya. Percakapan terakhir dengannya adalah sehari sebelum liburan menyambut idul adha. Masih saya ingat dengan jelas tutur kata dengan suaranya yang halus bak bisikan semilir angin mendendangkan pasir di pantai, intinya dia minta maaf segala kesalahan yang pernah dia lakukan, dan dia juga berkata apabila kami tidak bersama lagi, dia berharap, saya selalu mengingatnya. Saat itu, kami saling berpelukan, saya jadi merasa bersalah selama in kurang bersikap baik terhadapnya. " afri juga minta maaf" itulah kata-kata terakhir saya terhadapnya.  Setelah hari itu, saya tidak pernah melihatnya lagi. Sahabat saya pergi selama-lamanya. Bencana tsunami mencurinya. Hari demi hari , kecaman demi kecaman saya tujukan untuk diri saya sendiri. Seandainya saya bersikap lebih manis sebagai sahabat di saat-saat terakhirnya. Andai waktu bisa terulang dan saya memilih untuk tidak menjutekinya. Andai..

Masih dalam tahun ini, saya bertengkar dengan sahabat saya sendiri. Alasannya sepele, saya menudingnya terlalu cuek terhadap saya dan tak mengganggap saya sahabat. Cara saya menanggapi hal ini benar-benar tidak dewasa, saya bersikap frontal dan hampir bisa dikatakan menjurus ke verbal bullying. kata-kata dan beragam tuduhan serta mengungkit-ungkit lagi kesalahannya di masa lalu membuatnya sakit hati. Meng klaim secara sepihak bahwa saya bukan sahabatnya lagi. Ah, benar-benar memalukan. Padahal semuanya bisa diselesaikan dengan cara baik-baik. Saat di kuasai emosi seperti itu, membuat perasaannya turut hancur seperti hati saya yang hancur cukup melegakan perih yang menusuk ulu hati  tanpa terlebih dahulu mempertimbangkan masak-masak atas tidak layaknya sikap anarkis ini untuk saya tonjolkan. Di saat emosi saya reda, perasaan sesal pun muncul. Berharap apa yang saya katakan sebelumnya tidak pernah terucap. 

Nasi sudah menajdi bubur, Kata-kata yang telah terucap dan menggetarkan gendang telinga teman saya tersebut sudah pasti tak bisa ditarik atau diganggu gugat lagi. Kata-kata tersebut telah berubah menjadi pisau tajam yang tertancap dalam di hatinya, meski telah saya cabut pasti lah masih menyisakan luka, jika sembuh pasti lah ada bekasnya. Beberapa hari setelah itu kami saling bermaafan. Tapi, hati kecil saya tahu, dia tidak akan resepect terhadap saya seperti halnya dulu lagi. Kenangan akan sikap saya yang menyakitinya pasti akan muncul sesekali melesak dalam alam pikirnya. Saya bukan saya yang dulu lagi di matanya. Itu sudah pasti.

Tidak hanya saya, semua orang di jagad raya ini pasti pernah terjebak dalam pilihan yang yang salah. Sejatinya, hidup itu adalah sebuah pilihan dan bukan hidup namanya jika tidak dihiasi beragam pilihan. 

Namanya saja pilihan, ya sudah pasti kita harus memilih. Apa jadinya kita kelak di masa depan, itu semua sangat tergantung dari pilihan yang telah kita ambil. Pilihan yang telah kita ambil sering kita sebut dengan nama keputusan dan keputusan itu lah yang nantinya akan diekskusi serta termanifestasi dalam citra kita di masa depan. 

Kita di beri keleluasaan oleh Tuhan untuk memilih akan jadi manusia apa kita ke depannya. Memilih masuk surga atau neraka, memilih jadi orang miskin atau kaya, memilih menderita atau bahagia, memilih menjadi orang baik atau orang jahat, memilih di benci atau dicintai, memilih tetap galau atau move on. semuanya adalah pilihan, KAWAN. Jika ingin masuk surga maka berimanlah dengan benar, jika ingin kaya berusahalah, jika ingin bahagia, berpikrian positiflah. Ya, semuanya pilihan. 

Setiap pilihan pasti punya konsekuensi dan resiko, dan pilihan bijaksanalah yang akan membuat pemilihnya tentram. Apakah pilihan bijaksana itu? Pilihan bijakasana adalah pilihan yang telah difikirkan masak-masak sebelum dimanifestasikan dalam sebuah aksi, yang tidak merugikan orang lain, pilihan yang mendatangkan kebaikan serta pilihan yang dibarengi dengan tanggung jawab penuh untuk menjalankannya. Yang paling PENTING adalah pilihan tersebut membuat kita MENJADI DIRI KITA SENDIRI.


Apapun yang terjadi terhadap diri kita, itu adalah akibat dari risiko pilihan yang telah kita pilih. maka, jangan salahkan orang lain jika hal-hal buruk menimpa kita, introspeksi diri, karena keburukan-keburukan yang menimpa kita biasanya bermula dari diri kita sendiri. 

Saya menjadi rabun sejak masih anak-anak karena saya memilih melakoni kebiasaan buruk yaitu nonton TV dalam jarak dekat dan  membaca buku dalam cahaya temaram. Saya merasa bersalah atas sikap saya di masa lalu adalah    karena sikap saya yang memilih untuk jutek pada sahabat masa kecil saya, dan saat ini saya menyesal atas keretakan persahabatan dengan teman seprofesi saya adalah akibat saya memilih untuk tidak mengontrol emosi saya. Siapakah yang salah atas apa yang terjadi pada diri saya? jawabannya adalah diri saya sendiri. Bolehkah saya menyesal? Boleh. tentu saja. Dengan menyesal kita berarti menyadari kesalahan kita. Bolehkah menyesal berlarut-larut lantas menjadi depresi? "Nah , inilah yang tidak boleh.." Semuanya punya batas waktu. Menyesali diri pun punya batas waktu. Setelah batas waktu itu habis, mulailah memasuki fase baru, yaitu merenovasi diri. Jika kita telah mampu melewati tahap merenovasi diri menjadi lebih baik, bersikap bijaksana terhadap pilihan-pilihan ke depannya kelak, melakukan kontrol diri yang baik, maka kedewasan akan menjadi pribadi baru kita. Jangan heran, sangat banyak manusia bertambah tua setiap tahunnya, namun sangat sedikit dari yang bertambah tua itu bertambah dewasa. Dewasa juga merupakan Pilihan.  baik buruknya kita tergantung pilihan. So, Pilihlah yang terbaik untuk kebahagian dan kedamaian hidupmu kawan. Ingin jadi orang-orang yang terpilih untuk bahagia dunia akhirat, maka bijaksanalah terhadap pilihan-pilihan hidupmu. 

ah. ada juga yang tidak bisa memilih untuk dirinya sendiri. Alangkah malangnya orang yang hidup dengan cara seperti itu. Berarti ia telah memilih untuk menjadi manusia yang tidak utuh, karena hidup dari pilihan orang lain. Biasanya orang-orang yang hidup dengan pilihan orang lain tak akan bahagia sepanjang hidupnya. Biasanya sih.... karena sepanjang waktu ia akan menyalahkan orang lain akan hal-hal buruk dan penderitaan-penderitaan yang menimpa dirinya. Hidup penuh depresi dan tekanan. Bahagiakah? Padahal, dia sebenarnya juga salah, salah karena memilih hidup seperti itu. Ah, ribet. dari tadi saya mengulang-ngulang kata milih pilihan, pilih, berkali-kali. Intinya, Hidup itu adalah pilihan, maka pilihlah pilihan yang bijaksana dan terbaik bagi dirimu dan orang-orang yang kau sayangi, terutama bagi dirimu sendiri. :-). Kita hanya manusia, cuma bisa memilih, dan berusaha akan pilihan yang kita pilih. Allahlah nanti yang akan menyortir baik tidaknya pilihan tersebut bagi hidup kita. 










Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman Mengirim Barang Dengan Menggunakan jasa Dakota Cargo

Apa Sih Clinical Skill (KKJ) Itu?

PENGURUSAN SERKOM DAN STR UNTUK DOKTER UMUM